Sangiang: The Unexpected Beauty

Where do the Jakartans go for a quick and adventurous getaway?

Bandung?

Puncak?

Anyer?

After sun rise in Paku Anyer Port

The last place should be a good idea to a beach bitch and for those who needs some injection of vitamin sea. Wait! How about we go further across the sea? There’s a not-so-hidden gem in Sunda Strait called Sangiang Island. Have you ever heard about the island? I guess most of us familiar with its name. There’s a lot of Sangiang Island signage a long the way in Anyer. To me, the name of Sangiang Island itself is quite familiar since one of the tour operators often promoted the tour package.

Went to Anyer around 2 am, arrived at the villa, slept in the car until the sun rise then go to Paku Anyer Port. One hour boat ride in the morning is the best time to sit in the front area of the boat to see the sea and scenery.

Best spot on the boat

First stop was in Tembuyuh, the place of turtle nest. Our first agenda was free the tukik (baby sea turttle) into the sea. Unfortunately, we didn’t have so much time for tukik, so we did it quickly and ride the boat to Lagoon Bajo. The name of the place instantly spoils my memory of Labuan Bajo. We did snorkeling for about two hours to see all those dancing fishes and coral. Too bad the water is not clear enough. However the citizen of Sangiang underwater was actually facinated me. A lot of colorful group fishes dancing around us and looking for some food.

Tembuyuh port

We continue the journey  to the island to explore and have lunch cooked by local. We’re cleaning up ourself after snorkeling and have a rest while waiting for our lunch to be served. I took some pictures around the place and walking around in the bright sunny afternoon. After fueling ourself with food, we continue to explore the island by trekking to Goa Kelelawar (bat cave). It’s one hour trekking down the hill and not forget to mention; forest (better pouring yourself with mosquito lotion before trekking). Along the way to Goa Kelelawar, the ambience of the track resembles the track of Rinca Island in Komodo. I’m just scared that suddenly there’s a komodo popped in front of me. LOL!

Explore Sangiang

The sound of big wave echoing from the cave when we arived. Goa Kelelawar served an epic scenery by the combination of the wave, the sound of the bat and the cave itself. Ray of light is a bonus to take an epic picture in front of the cave.We took some times to take a rest for a long walk before continuing our journey to the hill.

Best spot on the island: Goa Kelelawar

 

Capung on point.

We walk down on the island to next spot. I didn’t have any expectation about the hill.  When we arrived, the hill was unexpectedly beautiful. Whatever the sun burns our skin, the beauty can’t stop us. We stop by to have fresh coconut water while sitting on the grass and sunbathing. We continue our journey by walking down the hill and spoiled by the beauty of nature along the way. There are three spots on the hill to enjoy their panoramic scene before we reach our final destination; Sangiang beach.

Sangiang Beach

Apparently we only had one day trip on the island and feels like its not enough to explore. This Sangiang Island is worth to visit for more than one time. Before the shine in the other side of the world, we’re walking down the island again to Tembuyuh, where our boat is waiting.

On our way back to Anyer before the sun finally set

 

Haji Lane: Terjebak Reputasi Masa Lampau

Kalau waktu gue kuliah sudah ada Instagram dengan Instastorynya, Snapchat beserta filter dan stickernya atau Path, mungkin postingan socmed gue kala itu sudah di penuhi oleh foto ‘ala-ala’ di area Haji Lane, Kampong Glam dan sekitarnya. Bisa jadi setiap hari gue mampir ke kedai-kedai atau toko-toko yang ada di Haji Lane untuk sekedar foto ‘ala-ala’ karena dapat di tempuh dengan berjalan kaki dari kampus.

Processed with VSCO with hb2 preset
Haji Lane dan nostalgia masa lampau.

Saat menyusun itinerary perjalanan balik kampong bersama kedua sahabat gue, yang menjadi salah satu pertanyaan gue adalah “Nanti kita bakal ke Haji Lane gak?”. Dengan sigap sahabat gue yang bernama Didi menjawab dengan cepat “Gue agak males sih ke Haji Lane”.

Ya memang sih kalau di pikir-pikir, bagi kami yang dulu sering mengantar ‘turis’ ke Haji Lane sepertinya bukan merupakan kunjungan wajib (walaupun Haji Lane itu bagian dari napak tilas). Sampai pada akhirnya pembicaraan kami tiba pada kalimat, “Yaudah liat nanti aja sempet ke Haji Lane apa nggak”. Kemudian tiba-tiba salah seorang sahabat gue yang bernama Ayata, mengeluarkan celetukan yang menginspirasi gue untuk membuat tulisan ini.

“Haji Lane terjebak reputasi masa lampau”.

Begitulah tulisan Ayata dalam merespon  percakapan kami di grup Line. Dan tibalah hari dimana kami pada akhirnya menyambangi Haji Lane. Hari kami dimulai tidak terlalu pagi, kami mengunjungi ArtScience Museum di Marina Bay Sands menjelang makan siang. Agenda penting kami hari itu adalah menyaksikan Sigur Ros manggung di Fort Canning Park di malam harinya. Namun kami memiliki banyak waktu luang dari sore hingga malam menjelang.

Kami naik MRT dari Marina Bay, pindah kereta di Raffles Place (dengan pertimbangan lebih sepi daripada City Hall) hingga kemudian pindah lagi ke green line menuju Bugis station. Begitu sampai kami menuju Jalan Pisang untuk foto-foto dengan mural yang ada disana. Namun sayang, Didi tidak dapat bergabung lebih lama karena ia lebih memilih untuk beristirahat di penginapan sebelum menonton konser di malam harinya.

Processed with VSCO with hb2 preset
Perjalanan napak tilas Haji Lane yang di mulai dari Jalan Pisang. Mural anak cewek yang lagi meluk anak singa ini letaknya di pinggir jalan dan walking distance dari Bugis MRT.

Gue dan Ayata menghabiskan banyak waktu untuk foto di satu spot yang kami anggap menarik. Dari Jalan Pisang kami berlanjut ke area Sultan Mosque. Hari itu ramai pengunjung karena ada bazaar barang-barang second di tengah jalan menuju Bali Lane. Beberapa rombongan turis juga terlihat sedang berbelanja di toko-toko souvenir di Kampong Glam. Kami menyempatkan berkunjung ke toko mainan yang terdapat Cosmic Robot Museum di dalamnya. Namun untuk masuk ke dalam museum, dikenakan admission fee.

Processed with VSCO with hb2 preset
Salah satu toko mainan di Kampong Glam yang banyak menjual mainan jadul layaknya mainan yang di jual abang-abang di depan sekolah. Di dalamnya terdapat Cosmic robot museum yang dikenakan biaya masuk untuk melihat-lihat koleksinya.

Kami tidak terlalu lama di Kampong Glam dan melanjutkan perjalanan menuju Bali Lane. Disini kami berjalan pelan-pelan karena ramai orang yang sedang melihat-lihat bazaar. Cuaca sore itu agak mendung dan membuat kami lebih sigap untuk menyelesaikan tujuan menuju Haji Lane karena takut tiba-tiba hujan.

Processed with VSCO with hb2 preset
Dari Kampong Glam di lanjutkan berjalan kaki melalui bagian belakang Bali Lane. Tempat ini banyak di padati orang untuk foto-foto dengan temboknya. Lokasi ini tepat berada di bagian belakang Blu Jaz.

Setelah melewati kerumunan orang dan bazaar, kami pun harus melewati kerumunan yang lain. Di bagian belakang Bali Lane banyak mural yang bagus untuk spot foto. Gue dan Ayata pun gak mau kalah dan ikutan foto di depan mural tersebut. Beginilah yang terjadi kalau gue hanya jalan berdua, banyak berhentinya karena kurang fokus dengan tujuan utama. Hahahaha!

Processed with VSCO with hb2 preset
Di tengah hiruk pikuk Haji Lane dan sekitarnya, Going Om memancarkan aura zen bagi yang lewat atau pengunjungnya. Samar- samar terdengar alunan lagu Deva Premal dan soothing songs lainnya.

Selain banyak berhenti di berbagai spot menarik untuk foto, kami pun tak tahan untuk tidak memasuki toko-toko yang memiliki display menarik dari luar. Padahal rencana awalnya kami akan berjalan dari ujung ke ujung dan berfoto sebelum hari gelap. Tapi apa boleh buat, rupanya toko-toko tersebut memiliki daya tarik yang tinggi bagi kami berdua.

Processed with VSCO with hb2 preset
Spot foto wajib di depan mural yang terletak di ujung Haji Lane menuju Beach Road.

Cuaca yang masih mendung, meneguhkan hati kami untuk terus berjalan hingga ujung jalan Haji Lane yang mengarah ke Beach Road. Di ujung jalan terdapat mural yang besar dimana belakangan ini mural tersebut banyak menghiasi timeline media sosial. Ketika kami sampai di ujung jalan tersebut, terdapat banyak orang sedang melakukan ‘photoshoot’ di spot mural tersebut.

Nama Beach Road secara instan mengingatkan gue bahwa nama jalan itu pernah menjadi bagian dari masa lalu gue. Kampus gue terletak di 99 Beach Road. Waktu itu gedungnya baru di renovasi karena sebelumnya adalah kantor polisi. Sekarang kampus tersebut sudah pindah ke Clarke Quay dan gedung berwarna orange itu entah sekarang jadi apa. Sempat mendengar kabar beberapa kali dijadikan tempat untuk pameran instalasi seni.

Processed with VSCO with hb2 preset
Jendela yang cukup fotogenik di ujung jalan Haji Lane mengarah Beach Road. Jendela ini letaknya bersebrangan dengan mural yang berwarna-warni.

Dulu tuh ya kalau ada teman yang datang berkunjung, pasti tujuan utamanya Haji Lane dan Ann Siang Hill. Tapi Haji Lane menduduki posisi pertama tujuan wisata para ‘tamu’ ini ketika berkunjung. Bugis Junction biasa kami jadikan meeting point bagi para ‘tamu’ yang ingin berkunjung ke Haji Lane. Biasanya teman-teman kami itu juga punya agenda wajib ke Bugis Junction atau Bugis Street Village.

Processed with VSCO with hb2 preset
Terjebak reputasi masa lampau.

Tidak banyak yang berubah ketika menyusuri sepanjang jalan Haji Lane, hanya beberapa toko yang berganti. Entah karena gue yang sudah terlalu lama nggak ke Haji Lane, atau memang sekarang terdapat lebih banyak bar dan coffee shop di sekitaran Haji Lane. Toko-toko di Haji Lane adalah tipikal toko-toko di Singapura, dalam arti barang fesyen yang di jual bisa dipastikan dijual juga di toko sebelah. Namun barang-barang tersebut tentunya mengikuti tren fesyen yang sedang hits di Singapura.

Processed with VSCO with hb2 preset
Terjebak nostalgia.

Tidak terlalu banyak perubahan membuat jebakan nostalgia berhasil menangkap mangsanya. Haji Lane sampai sekarang masih menjadi tempat favorit untuk jalan-jalan. Baiknya sih tempat ini jangan di lupakan begitu saja. Terutama untuk para mantan ‘akamsi’, jangan bosan-bosan masuk ke dalam jebakan reputasi masa lampau dari tempat ini.

Balik Kampong

Pulang kampung bagi sebagian orang mungkin merupakan sebuah perayaan yang di tunggu-tunggu untuk bertemu dengan kerabat dan sanak saudara. Gue sendiri sepertinya sudah tidak ingat kapan terakhir kali merayakan sebuah momen yang bernama pulang kampung. Sampai ada masanya, sebuah negara tetangga gue jadikan ‘kampung halaman’ untuk sebuah alasan perayaan. Balik Kampong.

Processed with VSCO with hb2 preset
What was it like to grow up in a particular district of Singapore during a specific decade? How can you go for a peaceful walk around your home if the area being constantly remodelled by demolition and construction? How do present perceptions of space contrast with memory?

Empat tahun tinggal di negara orang membuat gue merasa negara tersebut sebagai ‘rumah kedua’ gue. Singapura yang bagi banyak orang merupakan surga belanja memiliki kenyamanan tersendiri buat gue untuk gue jadikan rumah kedua. Memang tidak sedikit dari teman-teman gue yang merasa bosan untuk tinggal di Singapura yang terlihat monoton dan ingin segera kembali ke kota masing-masing di Indonesia. Lebih enak katanya.

Buat gue pribadi walau kehidupan terasa monoton dengan kegiatan yang itu-itu saja, segalanya terasa mudah dan praktis. Dari segi efisiensi waktu, transportasi dan jarak yang bisa dibilang tidak terlalu jauh dari satu tempat ke tempat lain, membuat gue merasa tidak ingin meninggalkan negara ini. Apalagi bagi gue yang waktu itu seorang mahasiswi desain grafis, untuk urusan art supply dan printing semuanya tersedia dengan mudah. Walaupun untuk urusan living cost bisa dibilang cukup tinggi.

Yang gue inget, terakhir kali gue balik kampong dengan gegap gempita adalah di tahun 2012 dalam rangka naik haji menyaksikan Sigur Ros untuk pertama kalinya. Setelahnya di tahun 2013, gue hanya transit beberapa jam saja di Changi. Ya anggap saja sudah empat tahun lebih gue nggak pulang kampung.

Sampai pada suatu hari terdapat sebuah pengumuman penting yang lagi-lagi datangnya dari sebuah band bernama Sigur Ros. Tentu saja hati gue langsung bergejolak membaca pengumuman tersebut. Lebih dari itu gue pun muntah karena terlalu excited dan deg-degan. Padahal waktu itu gue sudah dua kali menyaksikan Sigur Ros secara live. Yasudah anggap saja ini sebuah panggilan ibadah rock (mungkin kalo festival ini nggak ada, gue belum tentu balik kampong).

Setelah diskusi panjang dengan berbagai pihak, akhirnya sudah diputuskan yang akan berangkat hanya kami bertiga; gue dan dua sahabat tandem setia. Alam semesta ternyata menyampaikan maksudnya tanpa banyak bicara, tiga bulan sebelum keberangkatan kami mendapat sebuah kabar gembira. Maskapai nasional Singapura memberi harga promo gila-gilaan untuk tiket pesawat pulang-pergi. Sungguh sebuah perayaan yang mumpuni karena untuk seorang gue, naik SQ adalah salah satu dari list panjang yang terdapat dalam kegiatan hayal babu sehari-hari. Jadilah kami tiga anak  banyak gaya berhasil naik SQ dengan harga promo (yang kalau pakai harga reguler nggak bakal kebeli).

Processed with VSCO with hb2 preset
Outer yang senantiasa gue pakai semasa kuliah masih bertahan hingga sekarang (dulu pakaian gue cukup warna-warni sebelum hitam semua seperti sekarang). Gue sengaja bawa untuk menghayati peran napak tilas. Outer ini gue beli di flea market seharga SGD 10, yang jualan temen gue.

Agenda kami tidak banyak, hanya tempat-tempat ‘penting’ yang kami kunjungi dan ziarahi atas nama napak tilas. Tiong Bahru yang belakangan digadang-gadang menjadi the most hipster place in Singapore, tidak kami lewatkan begitu saja. Terlebih gue dengan sangat berapi-api berniat membeli beberapa buku di Books Actually yang sekarang terletak di Tiong Bahru. Sudah tentu Books Actually ini masuk ke dalam daftar The Most Hipster Places in Singapore (semasa kami masih kuliah, toko buku ini terletak di Ann Siang Hill).

Processed with VSCO with hb2 preset
Books Vending Machine yang terletak persis di depan toko Books Actually berisikan mistery books dengan berbagai range harga.

Selain tidak ingin ketinggalan menyambangi tempat-tempat hits masa kini, kami tentunya tidak lupa untuk napak tilas kuliner. I’m actually not a culinary person yang kudu wajib mencicipi makanan lokal di daerah tertentu, tapi di Singapur gue bisa makan berbagai macam makanan yang ada disana. Mungkin karena rasanya cocok dan pernah menjadi makanan sehari-hari buat gue. Yang maha penting tentunya Iced CoffeeBasically minuman ini adalah percampuran antara kopi hitam dan condense milk, namun buat gue rasanya gak ada yang bisa ngalahin. Untuk di Jakarta sendiri, sangat jarang ditemukan iced coffee dengan rasa yang se-authentic ini.

Karena faktor cuaca yang tidak menentu ditambah saat itu adalah weekend menjelang liburan natal, jalanan di jantung utama kota Singapura sangat ramai. Gue pun gagal menyantap seporsi (atau dua) duck noodle di Bras Basah Complex. Tapi gue cukup terhibur dengan Yong Tau Fu di Food Republic 313 walaupun mereka sudah tidak menyediakan bumbu kacang yang di campur wijen dengan rasa yang sungguh mumpuni dan juga Popiah.

Malam minggu di Orchard Rd tentunya sudah bisa ditebak seperti apa ramainya. Terlebih gerimis masih tidak berhenti hingga malam menjelang. Dari kejauhan gue melihat Thongsia Building sudah tidak berdiri tegak. Sudah ditutupi oleh sejenis plastik berwarna hitam pertanda bangunan tersebut sudah di end block. Bangunan ini letaknya tepat di belakang Al-Falah Mosque dan dapat digapai dengan cara jay walking dari taxi stand Paragon. Thongsia Building ini gue tinggali selama kurang lebih tiga tahun, dengan nomor unit #09-02. Kamar gue adalah sebuah basecamp tempat teman-teman gue ‘transit’, sekedar nongkrong, bikin tugas dan bahkan menginap.

Processed with VSCO with hb2 preset
Salah satu restoran dengan kearifan lokal di tengah hingar bingar bar dan cafe yang terletak di Keong Saik Rd. Menu makanan cukup jelas dengan nama makanan, besarnya porsi dan harga. Tinggal tunjuk saja mau yang mana karena pemilik dan pelayan tidak bisa berbahasa Inggris.

Hari pertama hanya kami habiskan di Tiong Bahru dan Orchard Rd. Malamnya kami memilih untuk makan di sebuah rumah makan lokal yang terletak diantara bar dan cafe. Letaknya hanya beberapa meter dari tempat kami menginap di Keong Saik Rd. Tipe restoran seperti ini kebanyakan dari pekerja dan pemiliknya tidak dapat berbahasa Inggris. Tapi jaminan bahwa rasa makanannya enaknya tiada tara. Kami memilih menu cereal squid dan seafood fried rice.

Processed with VSCO with hb2 preset
Plain Vanilla Bakery, salah satu tempat tersohor di Tiong Bahru yang tentunya berada di deretan teratas dalam Singapore Hipster Place.

Keesokan paginya, Singapura diguyur hujan yang cukup deras. Kami baru memulai hari di siang hari untuk mengunjungi ArtScience Museum di Marina Bay Sands untuk menyaksikan Future World: Where Art Meet Science, instalasi seni digital yang di dominasi oleh permainana tata cahaya, warna dan ilusi optik (itu lho yang orang-orang suka foto diantara kelap-kelip lampu).

img_6908
Salah satu instalasi dengan permainan cahaya yang menari-nari di ArtScience Museum. Musik yang terdengar mengambang membuat perasaan sedikit melayang.

Ini memang hal baru bagi kami, terutama buat gue yang ketika gue back for good tempat ini belum beroperasi. Agenda penting kami hari itu baru berlangsung di malam hari, in between tercetuslah sebuah ide yang mumpuni untuk melakukan ziarah napak tilas. Kami ke Haji Lane. Baru saja kami tiba di Jalan Pisang, Didi, memilih untuk beristirahat di penginapan hingga malam menjelang konser. Demi alasan kesehatan, katanya.

Area Jalan Pisang, Sultan Mosque, Kampong Glam, Arab Street dan Haji Lane tidak begitu banyak perubahan. Hanya beberapa toko dan restoran yang berganti. Sisanya banyak tembok di ruko-ruko yang kini dihiasi oleh berbagai macam mural yang kini menjadi latar untuk sesi ‘photoshoot’ bagi siapapun yang melintasinya.

Processed with VSCO with hb2 preset
Salah satu mural yang terletak di salah satu gang di area Bali Lane. Lokasinya persis di belakang Blu Jazz.

Setelah puas berjalan-jalan napak tilas di Haji Lane, gue dan Ayata beristirahat sejenak di sebuah Bar yang terletak hampir di ujung jalan Haji Lane untuk menikmati segelas bir dingin. Ketika hari sudah gelap barulah kami beranjak untuk kembali ke penginapan untuk bersiap-siap dan menjemput kawan kami, Didi. Sesudahnya barulah kami berangkat menuju Fort Canning Park untuk menghadiri agenda utama dalam trip kami; menyaksikan Neon Lights Festival. Kami tiba tepat saat Yuna baru menaiki Panggung. Barulah setelahnya, magical moment berlangsung dengan hadirnya Sigur Ros.

Processed with VSCO with hb2 preset
The magical Sigur Ros. Ini kali ketiga gue menyaksikan Sigur Ros dan kali kedua menyaksikannya di Fort Canning Park. Kali ini tidak dilengkapi dengan hujan deras, namun angin bertiup cukup kencang hingga membuat bulu kuduk berdiri.

Tidak seperti kebiasaan kami sehabis nonton konser, malam itu kami tidak menyantap kudapan malam di Spize. Kami memutuskan untuk kembali ke Keong Saik, dan berjalan kaki ke ujung jalan dekat China Town Complex untuk menikmati Sting Ray, La La dan Kerang hijau untuk kudapan malam di Hawker Center setempat. Tentunya hawker center tersebut kaya akan kearifan lokal dimana terdapat bekas kaleng Tiger Beer di meja-meja yang baru saja di tinggalkan pengunjungnya.

Processed with VSCO with hb2 preset
Kearifan lokal: menaruh kulit kerang langsung di meja dan bukan di piring kosong. Menu sharing diatas adalah La La dan Sting Ray.

Hari berganti dan kami hanya punya sedikit sisa waktu sebelum pada akhirnya kami harus bergegas menuju Changi Airport. Namanya juga tiket promo, kami tidak bisa mengatur sesuka hati jam penerbangan kami. Pasrah saja dengan penerbangan sore dari Singapura. Dengan waktu yang tersisa, karena posisi hotel kami sudah cukup mumpuni, kami berjalan kaki menuju China Town Complex. Dari sana perjalan napak tilas pun kami lakukan. Kami menyusuri Ann Siang Hill yang masih di dominasi oleh restaurant Fine Dining dan beberapa toko high fashion. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyusuri Ann Siang Hill yang cenderung sepi karena saat itu adalah hari Senin.

Processed with VSCO with hb2 preset
Kami merayakan 10 tahun kebersamaan kami dengan balik kampong bersama. Formasi yang selalu begini sedari awal kami berkenalan hingga traveling bersama sejak kolaborasi kimiawi kami bereaksi. Lokasi: Ann Siang Hill.

Sampai tiba waktunya kami tiba di Terminal 2 Changi Airport. Cuaca cukup cerah dan bersahabat. Perjalanan singkat mengenai sebuah napak tilas, tanpa disadari merupakan perjalanan perayaan 10 tahun persahabatan kami bertiga. Tidak lupa, tax refund adalah sebuah pengingat bahwa kami tidak lagi memiliki kesaktian untuk melakukan scan paspor sendiri ketika berada di negara ini.

Processed with VSCO with hb2 preset
Bye, second home!

Catatan Kaki 2016

Tahun 2016 berjalan amat cepat dan terasa tanpa jeda. Bulan Januari di tahun 2016 terasa berbeda di banding tahun-tahun sebelumnya. Januari adalah bulan yang terasa amat lama, namun tidak untuk tahun ini. Rasanya baru kemarin gue merasakan matahari terbit di tanggal 1 Januari 2016. Matahari terbit yang disambut dengan gerimis dan kesedihan. Awal yang cukup pahit dan manis. Entah bagaimana gue harus menggambarkan awal tahun 2016 ini. Terlalu absurd untuk menggambarkan apa yang gue rasakan selepas malam tahun baru 2016.

Tahun 2016 berjalan sangat cepat dan dinamis. Gue tidak bisa merunut satu-persatu apa-apa saja yang terjadi dari bulan Januari hingga Desember. Tentunya gue menjalani tahun ini dengan tidak mudah. Tidak melulu berisi kesenangan dan jalan-jalan. Banyak tersimpan problematika dan kesedihan di balik semua foto-foto dan tulisan indah.

I choose to keep my personal matter only to myself. Tidak perlu di sebar luaskan apalagi untuk disantap hangat-hangat di media sosial. I only share happines to all the good people. Mungkin banyak yang mengira gue selalu happy dan nggak pernah bete. Jangan sedih, the hardest part is already covered. Tak perlu dinaikan ke permukan hingga seluruh dunia harus tau. Hey! Im not that self conscious bitch. Yang mana seluruh dunia harus tau segala problematika hidup lo.

Ada hal-hal yang cukup berat yang harus gue lalui tanpa sepengetahuan banyak orang. Pencarian solusi yang cukup memakan waktu dan perasaan perlahan menemukan titik cerah. Seperti yang diajarkan ketika gue belajar menari Saman, “setiap proses itu menyakitkan, namun harus dinikmati untuk menjadi bisa”. Dan sejak itulah, gue selalu menghargai yang namanya proses. Toh makan mie instan juga pake proses (memasak).

Tahun ini gue banyak berkesempatan bertemu dengan banyak orang baru, dan tentunya teman-teman baru yang selalu memberi energi positif. I surround myself with good and positive energy. Sepertinya hanya itu hal terbaik yang dapat gue lakukan to stay sane.
Terlalu banyak memori indah untuk diabadikan di tahun 2016 ini. Segala kejadian dan kenangan buruk, biarlah menjadi bagian sejarah sebagai batu pijakan untuk melompat lebih tinggi.

2016, I’ve learned my lesson. Thank you for the bittersweet memories, the joy, the good times and the bad. 

Processed with VSCO with hb2 preset

Berdansa Resah di Akhir Pekan

“Engkau berdarah-darah dari antah berantah.”

Processed with VSCO with hb2 preset

Kalau sekarang gue berada di rentang waktu 2004-2006, potongan lirik diatas hampir bisa gue dengar seminggu sekali secara langsung. Di mana pada zaman itu, hampir setiap hari Sabtu terdapat pesta pora berupa dansa akhir pekan. Yang dimaksud dengan pesta pora tersebut adalah pensi. Dalam rentang waktu tersebut, gue masih berseragam putih-abu (tapi seragam sekolah gue berwarna biru terang kayak warna celana Jimmy waktu itu).

Jumat malam di Kemayoran, di sebuah hajatan besar bernama Syncronize Fest The Upstairs tampil memukau di area Forest stage. Muda-mudi langsung berdansa resah begitu musik dimulai. Multimedia dan tata lampu yang sangat mumpuni, membuat acara di tengah hingar bingar band lain yang sedang tampil seperti berada di planet lain. Buat gue yang sudah bertahun-tahun tidak menyaksikan mereka secara live, malam itu sungguh sebuah nostalgia manis dan membuat hati riang gembira. Gue meyakini, orang-orang yang berdansa resah malam itu, bisa dipastikan berada di tempat yang sama dengan gue dua belas tahun yang lalu.

Potongan lirik diatas, yang membuka penampilan The Upstairs malam itu, seolah melempar gue ke era dua belas tahun yang lalu dengan tata lampu gemerlap berbinar diiringi hingar bingar intro lagu tersebut yang suasananya seperti membawa kita ke planet antah berantah. Sepertinya tidak ada yang berubah, kecuali rupa kami yang kurang kinyis-kinyis seperti dulu kala.

Processed with VSCO with hb2 preset

Di antara perpindahan satu lagu ke lagu lainnya, Jimmy, seperti biasa selalu memberikan bridging akan lagu apa yang akan dibawakan selanjutnya dengan celotehan banyol tanpa sensor. Walaupun sepertinya ia tidak sedang berusaha melucu, namun kami semua tertawa dan senang. Ini salah satu bentuk kerinduan gue akan penampilan The Upstairs yang dibayar tunai malam itu.

Nomor-nomor maha mumpuni dibawakan semua malam itu. Mulai dari lagu cinta dengan alunan nada yang syahdu Satelit, kemudian kami semua diajak berdansa resah di akhir pekan bersama para Gadis Gankster setelah enam hari berseragam dalam Dansa Akhir Pekan. Tidak sampai disitu, lagu yang mengingatkan gue akan berakhirnya masa SMA dibawakan dengan syahdu dan gue pun tak terbersit hati untuk segera berhenti berdansa karena semua Terekam (Tak Pernah Mati) yang diawali dengan alunan bass menggetarkan jiwa. Malam semakin larut namum tak satupun yang berhenti berdansa di ruang sempit 3 x 4 dengan tata lampu tujuh belasan Disko Darurat.

Jumat malam yang dingin nan syahdu sehabis hujan, pesta pora berdansa resah di akhir pekan ini pun harus benar-benar berakhir dan ditutup secara manis dengan persembahan setangkai mawar dari Matraman.

1Demi celurit mistar dan batu terbang pelajar ku bersumpah semua memori akan caption foto dengan editan warna-warni di Friendster dengan potongan lirik The Upstairs pernah berjaya di masanya.

Her Morning Elegance

On one foreign morning in Cimahi we woke up way earlier than usual. The weather was so chilly and a bit cloudy. I stayed at my friend’s house, Bayu, together with his wife and our close friend which located in Cimahi. We left home at 6 am and directly head to Ciwidey. It was my first time visiting Ciwidey. We chose Ranca Upas as our destination to play along with a bunch of deer (and take a lot of pictures of course). This place is the place where you can do camping, barbeque-ing, or just visiting to see the beautiful scenery.

The first time we arrived the weather was a bit windy and foggy, but not long after that the sun shines beautifully and gave us warmth. We took a lot of photos, because the area was so photogenic and lots of spots to explore. We chose a certain area to topping up the ray of light to our photos (this kinda thing definitely makes us, girls, happier and can’t wait to post it to Instagram).

Not forget to mention, We had the best Indomie we’ve ever tasted.

Processed with VSCO with hb2 presetOne Chilly morning in Ranca Upas
Processed with VSCO with hb2 presetThis photo was taken not long after the appearance of the sun
Processed with VSCO with hb2 preset
Processed with VSCO with hb2 presetKyoot lil’ Bamby

Processed with VSCO with hb2 preset

Processed with VSCO with hb2 presetUh! I’m looking for snacks
Processed with VSCO with hb2 presetYay! Got one.
Processed with VSCO with hb2 presetFinally, someone stuffed me with my favorite snack.

Processed with VSCO with hb2 preset

Processed with VSCO with hb2 preset

Processed with VSCO with hb2 presetLet’s move into the other side
Processed with VSCOcam with hb2 preset
Processed with VSCO with hb2 presetThe appearance of the sun makes this girl really happy
Processed with VSCO with hb2 presetOh look! That lovebirds tho
Processed with VSCO with hb2 presetHead to my Instagram:
instagram.com/rereanindita

 

Pagi Hening di Rawa Pening

Waktu itu teman gue yang bernama Seto sedang melakukan perjalanan mudik ke kampung halamannya. Tidak sekedar mudik, namun ia pun tidak lupa berjalan-jalan di sekitar kampung halamannya. Sampai pada suatu saat ia memposting satu foto yang sangat menarik di Instagramnya. Pada kolom caption, Kak Seto (begitu gue memanggilnya, tapi bukan Kak Seto yang menciptakan si Komo), menjelaskan lokasi, jam dan siapa yang memotret fotonya dengan pose yang membelakangi kamera.

Tidak lama setelah doi memposting fotonya tersebut gue menyinggahi Salatiga yang rute perjalanannya melewati lokasi foto tersebut. Gue menginap semalam di Semarang dan paginya gue melanjutkan perjalanan ke Salatiga. Rute yang gue lewati pada saat itu adalah via lingkar selatan Ambarawa. Sesampainya di sana, gue pun riang gembira karena cuaca cerah dan udara yang enak.

Processed with VSCO with hb2 presetSuasana perjalanan dari Semarang menuju Salatiga sebelum mampir ke Rawa Pening. Jalanan aspal yang diapait oleh hamparan sawah dengan dikelilingi oleh Gunung Merbabu, Telomoyo dan Ungaran.
Processed with VSCOcam with hb2 presetLokasi, pose, angle dan fotografer yang sama seperti Kak Seto. Untuk mengelilingi rawa, kami menyewa kapal yang berkeliling selama kurang lebih empat puluh lima menit. Jika bepergian dalam grup, satu kapal bisa disewa tanpa bergabung dengan orang lain.
instagram.com/rereanindita

Processed with VSCO with hb2 preset

Processed with VSCO with hb2 presetTanaman eceng godong yang tumbuh subur dan banyak di jumpai ketika berkeliling rawa.
Processed with VSCO with hb2 presetSejauh mata memandang berkeliling; eceng gondong, Gunung Merbabu, Telomoyo dan Ungaran.

Processed with VSCO with hb2 presetProcessed with VSCO with hb2 presetProcessed with VSCO with hb2 presetinstagram.com/rereanindita

Processed with VSCO with hb2 preset

Waktu yang pas untuk berkunjung ke Rawa Pening adalah saat matahari terbit atau sebelum jam sebelas siang. Pagi hari udara dan keheningan masih terasa di Rawa Pening.

Kretek dan Museum Avant Garde

Kudus Kota Kretek

Tulisan itu berdiri tegak menantang saat kita mulai memasuki kota Kudus. Kota ini memang kota penghasil kretek terbesar di Indonesia dan di kota ini pula terdapat banyak pabrik kretek. Termasuk pabrik kretek milik orang terkaya di IndonesiaKota ini sendiri terletak di Jawa tengah dan berbatasan langsung dengan Pati, Demak serta Jepara.

Ngomong-ngomong soal Kudus kota kretek, disini pula terdapat Museum Kretek. Banyak hal (yang menurut saya) agak random yang saya temui di dalam museum ini. Sebut saja cukup avant garde karena saya belum pernah mendatangi museum dengan banyak hal di dalamnya. Hehehehe. Letak museum ini di Jl. Getas Pejaten, dengan lahan yang sangat luas. Sebelum masuk ke dalam museum, pengunjung diwajibkan untuk membayar retribusi sebesar dua ribu rupiah.

Lahan parkir di museum ini cukup luas dan begitu memasuki area museum, kita akan disambut oleh patung yang terlihat seperti keluarga petani tembakau dengan tulisan “Museum Kretek Kudus” di bagian tengah. Di sebelah kanan gerbang, kita akan menemui playground dan rumah adat Kudus. Gedung museumnya sendiri terletak di bagian tengah. Gedung tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan luasnya lahan museum.

Begitu masuk, kita akan disambut dengan kaca display tempat penjualan souvenir. Kaca display ini langsung menjadi pusat perhatian saya ketika pertama kali masuk ke dalam museum. Mungkin saya agak salah foheus, bukanya menikmati museum tetapi malah sibuk ngeliatin display. Berkali-kali saya meyakinkan diri bahwa saya sedang berada di Museum Kretek Kudus, tetapi salah satu souvenir yang dijual adalah gantungan kunci Menara Eiffel seharga empat ribu rupiah (Oke… ini cukup random sih). Selain itu terdapat cincin batu (bukan batu akik) warna – warni, yang lagi-lagi saya kurang tahu apa hubungannya dengan Museum Kretek.

Setelah itu, pikiran saya masih dipenuhi dengan souvenir yang kurang ada hubungannya dengan museum. Akhirnya saya berjalan keliling museum dengan tetap memikirkan gantungan kunci Menara Eiffel.

Diawali dari ruang kerja Bapak Nitisemito, di ruangan kecil itu terdapat meja bundar dan kursi serta patung Bapak Nitisemito yang sedang melongok di Jendela. Si bapak ini adalah raja kretek dan bisa dikatakan Bapak Nitisemito adalah penemu kretek.

 

Seperti di Museum Sampoerna, di sini juga terdapat warung-warungan dengan patung bapak penjualnya. Selain itu terdapat diorama tentang pembuatan kretek, jenis-jenis tembakau serta jenis-jenis kertas untuk melinting kretek. Selain itu terdapat diorama mengenai suasana pabrik dan barang-barang promosi penjualan kretek dari masa ke masa. Kita pun juga dapat melihat display merk-merk kretek dari masa ke masa. Bahkan, pada jamannya, tea set pernah menjadi hadiah jika kita membeli kretek.

Di antara satu diorama dan diorama lainnya, terdapat sebuah pintu kaca yang mengakses ke bagian belakang museum. Di belakang terdapat tiga kolam renang dengan ukuran yang cukup besar. Satu kolam renang dengan prosotan spiral besar di kelilingi oleh kolam arus (entahlah ini benar atau tidak, tapi penampakkanya seperti itu) persis seperti yang ada di Pondok Indah Mal jaman dulu sebelum di renovasi. Di sisi lain, terdapat satu kolam renang lagi dengan ukuran yang cukup besar bernama ” Wahana Permainan Ember Tumpah”. Di sisi kolam terdapat dua tiang beton yang diatasnya terdapat ember berisi air yang siap ditumpahkan ke kolam. That’s why wahana ini dinamakan demikian. Tetapi jika ingin menikmati wahana ini, pengunjung diwajibkan membayar lima ribu rupiah.

Di dekat arena Ember Tumpah tersebut, terdapat halaman yang cukup luas berisikan permainan anak-anak. Ada ayunan, prosotan dan juga jaring-jaring. Di halaman ini juga terdapat sebuah bangunan menyerupai pos satpam yang cukup tinggi dengan kabel memanjang ke halaman depan yang ternyata dulunya adalah wahana Flying Fox.

Di area kiri museum, di dekat playground tadi terdapat sebuah bangunan yang kelihatannya sudah tidak terpakai lagi. Bangunan itu adalah Bioskop Museum Kretek. Dengan adanya bangunan ini, menambah ke-“random“-an yang saya temukan di dalam museum ini. Loket museum ini sudah tertutup dan agak sedikit berdebu. Dilihat dari kaca tempat penjualan tiket, tertumpuk barang-barang yang sudah tak terpakai. Di kanan kiri loket, terdapat akses masuk menuju kedalam bioskop. Selain itu, di depan loket, masih terpampang banner film apa yang sedang diputar (mungkin yang terakhir) di bioskop itu. Disitu tertulis tahun 2012 dengan banner film Avatar. Tidak jauh dari gedung bioskop, di sebelah kirinya terdapat bangunan seperti rumah tingkat yang cukup besar tetapi terlihat sudah tidak dipergunakan lagi. Di bagian depannya terdapat arena mandi bola bagi anak-anak dengan ukuran kecil tetapi terlihat sudah tidak pernah dipergunakan lagi. Sungguh ini adalah pengalam baru mengunjungi sebuah museum dengan banyak hal avant garde di dalamnya.

Well, kalau sedang kehabisan ide liburan mau kemana, explore Jawa Tengah bisa jadi salah satu alternatif liburan. Selain Kudus, masih banyak tempat yang dapat dikunjungi dengan tujuan wisata yang menarik seperti Demak, Jepara, dan Rembang.

Note: Tulisan ini adalah tulisan pindahan dari blog lama.

Sheila on 7: Yang Ter-Muach di Hati

Sheila on 7 adalah salah satu band yang menemani gue tumbuh dan berkembang menuju ABG. Pertama kali mereka keluar itu, gue sedang disibukkan dengan persiapan EBTANAS. Iya, gue masih pakai seragam merah putih waktu itu (kalau kalian menghitung umur gue, hasilnya gue masih muda belia ketika gue menulis tulisan ini). Yang mengenal gue dengan benar, sudah pasti tahu betul ini adalah satu band favorit gue sepanjang masa. Tapi nggak sedikit juga yang kaget bisa-bisanya gue suka sama ini band atau tidak menyangka gue bisa suka sama ini band. Ya memang, kalau pagi-pagi itu gue lebih suka nyetel Dialog Dini Hari atau Sigur Ros. Bahkan gue hafal hampir semua lagu Superman is Dead pun koleksi albumnya lebih lengkap dari pada koleksi album Sheila on 7.

Emang sih nggak jarang gue menemui orang yang malu-malu untuk mengakui kalau mereka itu suka sama Sheila on 7. Tapi karena populasi yang begini ada banyak, jadi gue maklumi saja. Setidaknya mereka pasti menyanyi dengan lantang di dalam hati kalau ada lagu dari Sheila on 7 dikumandangkan.

Kenapa gue tiba-tibe beride bikin playlist Sheila on 7? Karena kemarin gue kesasar di satu blog seseorang yang tidak gue kenal. Orang tersebut menuliskan lagu-lagu Sheila on 7 favoritnya. Kemudian gue pun tergerak untuk bikin satu playlist yang isinya lagu-lagu Sheila on 7 yang Ter-muach di hati gue. Daftar di bawah tidak sesuai urutan dari lagu mana yang paling gue suka, karena untuk menentukan lagu Sheila on 7 mana yang paling gue suka itu lebih susah dari pada harus menghafal rumus phytagoras.

1. Dan..

Sepertinya lagu ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut kenapa harus ada di dalam playlist. Lagu yang maha fenomenal dengan video klip dramatis dan lirik lagu yang sering gue pergunakan dalam kehidupan sehari-hari “bersinar dan berpijar”. Namun tentunya, kalian tidak perlu mencaci maki gue agar kalian bersinar dan berpijar seperti dulu kala.

2. Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki

Alasan kenapa ada lagu ini di dalam daftar adalah intronya yang membawa gue seperti sedang berada di dalam sebuah bus dalam perjalanan yang jauh dan melempar pandangan jauh ke luar jendela.

3. Berai

Untuk ukuran anak yang masih pakai seragam merah putih ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, mungkin lirik “Kau kemasi kasih sayangmu” bisa gue abaikan begitu saja. Namun sekarang gue bisa berpikiran betapa jeniusnya kalimat tersebut di dalam sebuah lagu. Pun ada masanya saat saat gue patah hati, gue mencoba bergegas ambil langkah sendu. Jika tidak, mungkin sudah terjaga oleh kelam dan terimbas dengan suram.

4. Pe De

Bayangin kalau bukan Duta yang nyanyi lagu ini. Gue gak kebayang kalo lagu ini hadir di zaman sekarang dengan lirik “Dor! Aku memang nggak funky tapi bukan gembel yang hidup tanpa usaha”. Coba bayangkan!

5. Perhatikan, Rani!

Menurut gue, lagu ini memiliki lirik dan makna yang mendalam. Lagu tentang seorang kakak bernama Rani yang meninggalkan Jakarta demi masa depan cipta. Ada jalinan personal antara gue dengan lagu ini, yaitu ketika gue harus belajar berpijar meninggalkan Jakarta demi masa depan cipta agar gue tidak takut dan layu pada semua cobaan yang menerpa gue. Bedanya, gue nggak mencorat-coret lukisan sebelum gue memadamkan sekejap warna-warni duniaku. Dan sepertinya, Duta tidak perlu memakai kacamata berwarna ungu sambil duduk senderan dalam video klip ini.

6. Sahabat Sejati

Lagu ini sepertinya lebih mengena ketika dikumandangan pada saat acara perpisahaan. Lagu tentang sahabat sejati yang setting video klipnya sangat mengena di kehidupan seharai-hari pada zaman itu. Kayak persahabatan antara gue dan shabat-sahabat gue yang tak pernah memikirkan ujung perjalanan. Walaupun ujung perjalanannya sama seperti teriakan pada lagu ini, Jakarta!

7. Bila Kau Tak Disampingku

Lagu ini gue masukkan ke dalam playlist karena simply gue suka aja sama lagunya. Tapi karena pernah ada becandaan internal dengan lagu ini, maka lagu ini menambah panjang nomor yang yang gue masukan ke dalam playlist.

8. Sebuah Kisah Klasik

Lagu yang digadang-gadang menjadi sebuah lagu wajib untuk sebuah acara perpisahan ini wajib hukumnya masuk ke dalam playlist. Namun untuk gue pribadi, lagu ini lebih mengena kepada momen saat gue sedang dalam perjalanan jauh atau sedang bermain-main dengan deburan ombak. Momen dimana gue bermain air di hamparan lautan luas adalah momen dimana gue harus bersenang-senang karena waktu ini yang akan gue rindukan di hari nanti. Momen dimana gue bertemu dengan orang-orang baru di tengah perjalanan karena waktu ini yang akan gue banggakan di hari tua. Sebuah kisah klasik untuk masa depan.

9. Mari Bercinta

Lagu yang maha intelek sehingga membuat gue mengharuskan membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk mengetahui arti kata dari ‘Ejawantah’. Bayangin aja waktu lagu ini keluar gue masih sekolah kelas 2 SMP yang bisa sekiranya tidak dapat langsung tau secara mentah-mentah arti kata ejawantah. Anton Widiastanto, mantan drummer Sheila on 7, patut diberi piagam penghargaan karena sudah menciptakan lagu maha indah dengan lirik yang luar biasa hebatnya, “Tentukan yang utama, yang satu tercintaa.. Kan jadi teman hidup yang setia..”.

10. Terima Kasih Bijaksana

Lagu yang maha bijaksana dari seorang pria yang berkata ke si pesona rahasia lagu ini bahwa ia tak peduli berapapun berat badannya nanti, si pesona rahasia ini akan tetap menjadi yang Ter-MUACH dihati. Walau ada sedikit ketakutan diawal bahwa ia terlalu liar untuk dimiliki, namun sesegera mungkin ia tepis bahwa itu hanya persinggahan egonya semata.

11. Melompat Lebih Tinggi

Bagai hutan dan hujan, lagu ini sudah kayak lagu penyemangat ketika olahraga. Apalagi kalau lagi lari. Tapi sayangnya, gue nggak suka lari apalagi dari kenyataan. Jadi setiap kali gue mendengar lagu ini, gue selalu membayangkan diri gue sedang lari pagi. Namun gue hargai usaha mereka yang rela memetik bintang untuk kau simpan.

12. Hari Bersamanya

Lagu dari seorang anak yang minta dilancarkan harinya kepada Tuhan membawa lagu ini kedalam playlist. Lagu yang buat gue level kesedihannya melebihi Sebuah Kisah Klasik untuk dikumandangkan dalam sebuah acara perpisahan. Seorang teman pernah membuat satu video stop motion yang mana video tersebut menggambarkan sebuah acara ulang tahun untuk terakhir kalinya yang dirayakan bersama teman dekat di sebuah apartemen yang pernah kami tinggali bersama-sama dengan latar lagu ini. Buat gue ada rasa haru tersendiri jika Tuhan melancarkan hariku bersama teman-temanku yang sekarang sudah berhamburan kemana-mana. Ditambah lokasi pembuatan video klip ini berada di sebuah sekolah dimana gue menghabiskan hari-hari gue selama tiga tahun di SMA bersamanya.

Simak Sheila on 7: Yang Ter-Muach di Hati

img_2854

 

 

 

Reading Centhini: 4 Kesalahan Fatal Pacar Gw

Disclaimer:

Cerita ini sudah jelas bukan mengenai pacar gw maupun kehidupan percintaan gw.

IMG_1811

“If you are sad, you read Centhini, your sadness will be gone. If you are sick, Serat Centhini gives you the knowledge of natural remedies. If you want to slaughter a buffalo, Serat Centhini tells you the steps. If you want to build a house, Serat Centhini tells you all the calculations of measurements and good dates to build it. If you want to find God, Serat Centhini shows you the way.”

Potongan tulisan di atas adalah salah satu bagian favorit gw dari rekap Reading Centhini: Bukan Cinta Satu Malam. Reading Centhini sendiri adalah sebuah pertunjukkan yang diadaptasi dari buku Serat Centhini. Pertunjukkan ini digagas oleh Agnes Christina yang juga penulis naskah, sutradara, produser, pemain, poster designer, costume designer, dan juga ia pun menjual tiket pertunjukkannya sendiri.

Serat Centhini itu sendiri sesungguhnya adalah salah satu karya sastra terbesar Jawa Baru yang berisi ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, politik, spiritual dan tata cara hidup. Buku ini ditulis menggunakan bahasa Jawa dan terdapat sebanyak 12 jilid.Dalam kehidupan sehari-hari, buku ini sering disalah artikan sebagai Kamasutra Jawa. Buku ini dibuat atas kemauan seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwono V.

Sekitar tahun 2013, Agnes memiliki peran yang cukup besar dalam membantu gelar pamit yang gw dan teman-teman gw bikin dari komunitas tari tradisional gw saat itu. Agnes menulis naskah untuk transisi pergantian tari yang dibacakan dengan format tembang macapat, juga membantu dalam urusan tata lampu dan properti panggung. Tahun itu project Reading Centhini sudah berjalan, diawali dari pertunjukkan pertamanya di Substation Singapura. Maka, naskah pertunjukkan gw yang bertajuk “Benang Merah” jelas terinspirasi dari Serat Centhini. Selama pre-produksi, pertemuan gw dan Agnes selalu diisi dengan cerita-ceritanya mengenai masa depan Reading Centhini (selain pembicaraan mengenai produksi gelar pamit). Karena pada masa itu pertunjukkannya hanya di tampilkan di Singapura dan beberapa kota di pulau Jawa, gw belum sempat menyaksikan Reading Centhini secara langsung. Gw cuma tau dari Blog, Instagram,Twitter dan dari pesan-pesan Whatsapp Agnes yang suka dia kirimkan begitu saja di waktu-waktu yang tak terduga.

Perkenalan gw dan Agnes terjadi di tahun 2009 ketika kami berdua masih sama-sama kuliah di Singapura. Waktu itu Agnes bertindak sebagai Produser dalam drama musikal Mahabrata yang di selenggarakan oleh anak-anak Indonesia di Singapura per dua tahun sekali baik oleh pelajar maupun profesional. Awalnya gw ngelamar jadi talent manager di acara ini, tapi apa boleh buat, gw di terima sebagai penari yang menari hampir di seluruh scene dalam drama musikal tersebut. Persiapan dilakukan hampir satu tahun, dari situ kami lumayan banyak mengobrol, tapi entah bagaimana ceritanya, kami lebih banyak ngobrol setelah gw for good ke Indonesia. Drama musikal ini (ternyata) memiliki peran penting dalam kehidupan gw sampai sekarang termasuk perkenalan dengan mantan pacar gw (bagian ini boleh diabaikan).

Singkat cerita, ahir Mei 2016 gw berkesempatan menyaksikan Reading Centhini: Suluk Tambangraras di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta. Cerita dalam judul ini mengisahkan Anak-Anak Sunan Giri dari Kerajaan Mataram yang meninggalkan tanah mereka untuk berkelana. Agnes menggunakan medium lukisan yang dibuat oleh Popok Triwahyudi, Tata lampu yang cukup dramatis dan properti sederhana. Hal yang mencuri perhaian gw dari pertunjukkan ini adalah lagu-lagu dangdut yang dinyanyikan sendiri oleh Agnes komplit beserta jogetan asoy geboynya juga adegan masak mie instant dan memakannya sambil nyanyi dangdut.

Menariknya dari pertunjukkan ini, Agnes membawakanya dalam beberapa layer. Kisah Amongraga di twist dengan kisah kehidupan pribadinya (yang sesungguhnya gw sudah hafal di luar kepala semua cerita tersebut). Cerita tentang seorang perempuan Indonesian Born Chinese menghadapi kerusuhan di tahun 98, cerita nenek moyangnya, cerita tentang perempuan yang nggak bisa menentukan masa depannya sendiri, kisah kegalauan hidup, kisah cinta dan juga masa depan yang ideal menurut seorang Agnes. Gw nggak ada ekspektasi apa-apa tentang pertunjukkan ini, gw cuma mau membayar lunas rasa penasaran gw akan Reading Centhini yang biasanya cuma gw dengar dari Agnes.Pada hari itu, hari Sabtu, keadaan emosional gw sangatlah tidak stabil dan Jakarta diguyur hujan yang cukup deras. Gw baru aja diterpa sebuah kenyataan yang cukup berat dan harus gw terima tanpa perlawanan sedikit pun. Semua cerita kehidupan Agnes yang sudah pernah gw dengar ratusan kali, langsung terasa masuk akal dan gw pun merasa “dekat” dengan apa yang dia rasakan akan problematika kehidupannya tersebut.

Agnes tidak secara terang-terangan menceritakan kehidupan pribadinya. Cerita dibuka dari ia mengenalkan pacarnya yang memilik 4 kesalahan fatal.

IMG_1816

Adegan makan mie instant di sebelah lukisan bergambar pacarnya yang memiliki 4 kesalahan fatal.
  1. Perbedaan usia yang cukup jauh
  2. Beda Agama
  3. Pribumi
  4. Full time seniman

Bagian ini, menurut gw, cara yang menarik untuk adegan pengenalan tokoh karena gw langsung mengingat semua kesalahan fatal si pacar. Kemudian cerita rumitnya kehidupan pun bergulir. Dari mulai bagaimana dia dan keluarganya menyelamatkan diri dan harta benda dari kerusuhan 98, usaha untuk mendapat restu, mengurus surat-surat pengantar dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan dan bla bla bla yang ribetnya stengah mati, kegalauan mengenai pernikahan beda agama dan ras dan seterusnya dan seterusnya. Akan tetapi, kisah ini tidak ia selesaikan sampai tamat. Penonton dibiarkan menggantung tanpa tau apakah Agnes berhasil melangsungkan pernikahannya atau tidak, bagaimana Agnes menyelesaikan masalah perbedaan agama, apakah dia pulang ke rumah ibunya kembali atau tidak dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya.

My personal favorite quotes from Reading Centhini: Suluk Tambangraras:

  1. “Hari ini 18 tahun yang lalu gw pulang ke rumah dari hotel setelah kerusuhan reda. Entah gimana caranya gw selamet sampe rumah, mungkin tanpa gw sadari, gw diperkosa di tengah jalan.”
  2. “Gw selalu mencari waktu yang tepat untuk ngasih tau orang tua gw, tapi yang namanya waktu, nggak pernah tepat”
  3. “Maaf itu mahal harganya”

Moral of the story:

Di luar sana, banyak orang yang kisah hidupnya lebih pelik dari kita. Terutama masalah percintaan. Jadi, buat loe-loe semua yang merasa galau akan kehidupan, santai aja, bro, sist. Temen kita banyak! Semangat.

IMG_1803

Selamat ngabuburit dan salam olahraga.